IBTimes.ID – Terorisme masih menjadi momok di Indonesia. Terorisme merupakan sesuatu yang begitu menakutkan. Di negara-negara Barat, ketakutan berlebih tersebut ditujukan kepada kelompok minoritas Islam. Pasca peristiwa 11 September, pandangan stereotip terhadap Islam melekat begitu kuat. Sejak saat itu, pemerintah di seluruh dunia, terutama Indonesia, melakukan berbagai upaya untuk menekan terorisme. Amerika sebagai pemimpin globalisasi menekan negara-negara lain supaya melakukan global war on terrorism. Negeri Paman Sam tersebut menjalankan misi diplomasi, memberi iming-iming bantuan ekonomi, dan melakukan ancaman embargo militer agar negara lain mau mengikuti perang global. Di Indonesia, episode 11/9 dilanjutkan dengan Bom Bali I & II. Pemerintah Indonesia kemudian mengadopsi kebijakan penanggulangan terorisme dengan menitikberatkan pada ranah penegakan hukum dan pendekatan ideologi. Progresifitas respond Pemerintah Indonesia ini terlihat dengan dikeluarkannya berbagai peraturan perundang-undangan terkait penanggulangan terorisme.

Pemerintah rela menggelontorkan dana yang begitu besar untuk penanggulangan kasus terorisme. Pada tahun 2018, anggaran penanggulangan radikalisme dan terorisme dialokasikan melalui dua pos. Yaitu masuk pada pos anggaran Kepolisian Republik Indonesia sebesar 95,2 triliun dan pada anggaran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebesar 505,5 miliar. Sayangnya, dengan anggaran yang begitu besar, rasanya pendekatan soft approach dan hard approach pemerintah tidak cukup efektif melakukan penanggulangan kasus terorisme.

Pada tahun 2015 hingga 2018 justru terjadi tren kenaikan kasus terorisme. Realitas tersebut menunjukkan bahwa ada problem dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia. Kebijakan Penanggulangan Terorisme ala SBY Dalam disertasi yang berjudul Kebijakan Penanggulangan Terorisme di Indonesia 2009-2019, Paryanto, penulis disertasi tersebut, menyebut bahwa arah kebijakan Presiden berperan penting dalam membentuk struktur institusi penanggulangan terorisme. Kebijakan Presiden merupakan ketentuan yang melengkapi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan penanggulangan terorisme. Selain arah kebijakan ke dalam negeri, Presiden juga memberikan sikap dan arahan yang sifatnya mempertegas sikap Indonesia terhadap terorisme ke dunia internasional. Baca Juga BNPT: Ekstrimis Jumlahnya Sedikit tapi Sangat Militan Paryanto menyebut bahwa di era SBY, desk khusus antiteror di bawah Kementerian Politik dan Keamanan memiliki banyak keterbatasan wewenang dan otoritas. Selain itu, terjadi tumpang tindih antar berbagai lembaga pemerintah, termasuk di internal kepolisian, dalam urusan penindakan pelaku terorisme. Menyadari hal tersebut, SBY kemudian membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada tahun 2010. Disertasi tersebut menyoroti kebijakan SBY di periode kedua pada tahun 2009- 2014.

SBY memiliki komitmen yang cukup tinggi terhadap pemberantasan terorisme pada tahun 2009. Sayangnya, komitmen SBY kemudian menurun di setiap tahun setelahnya. Berdasarkan analisis perangkat lunak NVivo 12, tren konsentrasi SBY untuk penanggulangan terorisme pada tahun 2009 mencapai angka 1892. Di tahun 2010, angka tersebut menurun menjadi 1101 dan kembali menurun di tahun 2011 dengan angka 1045. Pada tahun 2012, konsentrasi SBY mengalami sedikit kenaikan di angka 1129, lalu turun di angka 858 pada tahun 2013 dan 637 di tahun 2014. Perkembangan angka tersebut menggambarkan tren konsentrasi kebijakan penanggulangan terorisme yang menjadi referensi pada laporan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Fenomena ini, menurut Paryanto, dapat dijelaskan dengan melihat konteks kejadian tindakan terorisme. Pada tahun 2009, sembilan hari setelah Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, terjadi peristiwa ledakan bom di Hotel J.W. Marriott dan Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta. Peristiwa bom bunuh diri tersebut menewaskan 9 jiwa dan melukai lebih dari 50 orang lainnya. Di tahun 2011, peristiwa teror bom buku terjadi. Bom buku tersebut mengancam polisi, Badan Narkotika Nasional, dan musisi Ahmad Dhani sebagai sasaran korban.

Kebijakan Melawan Terorisme ala Jokowi Sementara itu, kebijakan penanggulan terorisme pemerintahan Jokowi diletakkan pada bidang keamanan nasional. Kebijakannya terlihat pada prioritas pembangunan di wilayah perbatasan dengan membangun Pos Lintas Batas Negara (PBLN), pencegahan radikalisme dan terorisme, dan ketiga, memfokuskan pada konsolidasi bidang hukum dengan mengajukan perubahan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang terorisme. Baca Juga Hasil Survei Lazismu: Pendapatan Turun, Kedermawanan Naik Di era Jokowi juga lahir Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Permenkumham Nomor 44 Tahun 2015, Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2017, Peraturan Kepala BNPT Per-01/KBNPT/1/2017, Peraturan Menteri Sosial Nomor 26 tahun 2017, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2017, dan puncaknya lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018. Di berbagai pidato, Jokowi menekankan pentingnya melibatkan dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan NU. Dua ormas tersebut, menurut hemat Jokowi, dapat menjadi mitra strategis pemerintah dalam pencegahan terorisme. Salah satu capaian penting di era Jokowi adalah pelumpuhan pelaku terorisme di Poso, Sulawesi Tengah dengan menewaskan Santoso, pimpinan Mujahidin Indonesia Timur. Selain itu, di masa tersebut ada 170 pelaku terorisme yang ditangkap. Menurut Paryanto, di awal periode kepemimpinan, Jokowi mengubah haluan kebijakan dengan menekankan pada aspek pencegahan. Ada dua strategi yang diterapkan, yaitu kontraradikalisasi dan deradikalisasi. Kontraradikalisasi dilakukan dengan melakukan upaya pencegahan dan penangkalan penyebaran paham radikal terorisme di tengah masyarakat melalui kegiatan kontra propaganda, pengawasan, peningkatan kewaspadaan dan perlindungan. Sementara deradikalisasi ditempuh dengan melakukan upaya pembinaan dan penyadaran kepada perorangan maupun kelompok radikal yang memiliki kerentanan terhadap tindak pidana terorisme.

Sebagaimana SBY, tren konsentrasi Jokowi terhadap penanggulangan terorisme juga menumpuk di masa-masa awal kepemimpinan. Angka tersebut terus menurun hingga tahun 2018. Referensi kebijakan pada tahun 2015 sebanyak 1256, disusul tahun 2016 sebanyak 758 referensi, tahun 2017 sebanyak 680 referensi, dan 2018 sebanyak 355 referensi. Data ini menunjukkan bahwa konsentrasi kebijakan penanggulangan terorisme pada era kepemimpinan Jokowi mengalami konsentrasi tinggi pada awal periode dan secara gradual menurun di tahun-tahun berikutnya. Paryanto menulis bahwa Jokowi melakukan upaya kerjasama internasional untuk menekan terorisme. Upaya tersebut membuahkan beberapa hasil. Pertama, keberhasilan Indonesia menjadi co-chairs (Indonesia dan Australia) dari Global Counter Terrorism Forum Detention and Reintegration Working Group (GCTF DRWG), melanjutkan posisi yang pernah dicapai pada periode pemerintahan SBY. Baca Juga Haedar Nashir: Cendekiawan Harus Mampu Berpikir Jernih Kedua, keberhasilan Indonesia dalam menyelenggarakan Wokshop on Capacity Building and Training for the Appropriate Management of Violent Extremist Offenders, di Medan, 8-9 April 2015. kegiatan workshop ini diselenggarakan Indonesia bekerja sama dengan Global Center on Cooperative Security (GCCS). Dari hasil penelitian tersebut, Paryanto menyimpulkan beberapa poin. Pertama, kebijakan penanggulangan terorisme, baik di era SBY maupun Jokowi tidak didasarkan pada kebijakan nasional yang lengkap dan komprehensif. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan penanggulangan terorisme yang dirumuskan dan dilaksanakan mengacu pada terjadinya peristiwa terorisme pada waktu dan lokus tertentu dan tidak didasarkan pada kebijakan yang lebih komprehensif dan integratif. Kedua, kebijakan penanggulangan terorisme sangat dipengaruhi oleh proyek global, yaitu perang global melawan terorisme. Ketiga, ada pengaruh paradigma islamofobia. Reporter: Yusuf

Sumber Artikel : Perbedaan Kebijakan Penanggulangan Terorisme ala SBY dan Jokowi https://ibtimes.id/?p=64296